PENERAPAN MANHAJ WASATHIYYAH DI NUSANTARA
(Essay ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat seleksi Azhari Backpacker 2015)
Disusun oleh : Dea Fitria
Umat Islam dewasa ini dihadapi dengan masalah yang komprehensif. Mulai dari radikalisme, liberalisme, sosialisme, pluralisme dan sebagainya. DR. Mukhlis Hanafi, MA., dalam bukunya Moderasi Islam, menuliskan bahwa umat Islam kini, paling tidak, menghadapi dua tantangan. Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan. Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.
Sikap yang pertama biasanya lahir dari golongan salafi garis keras, yang masih berfikir jumud, dan menganggap globalisasi sebagai bid’ah yang menyesatkan. Ekslusif, tidak terbuka dengan hal-hal baru (jika tidak bisa dibilang generasi kurang update dan terbelakang), dan tidak mau sejalan dengan modernitas. Golongan ini rentan dengan pemikiran yang instan, tidak berfikir panjang dan mendalam sehingga menghasilkan keputusan yang premature. Alih-alih membela Islam, malah jatuh kedalam terorisme dan radikalisme.
Sementara sikap kedua, lahir dari semangat mengedepankan Islam agar sejalan dengan globalisasi tetapi lupa membatasi diri dengan rambu-rambu hukum dasar islam, sehingga melahirkan pemikiran yang bebas tak terikat—liberalisme. Buah nya, syari’ah Islam dengan sesukanya di campur tangani, sehingga menghilangkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Yang pertama terlalu ketat bahkan menutup diri, dan yang kedua terlalu longgar dan terbuka sehingga mengaburkan esensi ajaran Islam itu sendiri.
Senada dengan opini Syaikh Mahmud Syaltut, Rektor Universitas Al Azhar ke-41, beliau menuliskan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al Qur’an Al Karim:
“Islam adalah jalan yang lurus, syariat nya kekal dan sesuai setiap masa dan tempat. Keadaan manusia sebelum datangnya Islam terbagi menjadi dua golongan. Petama adalah golongan ekstrem (ifrat), dan kedua adalah golongan yang terlalu longgar (tafrit). Seperti hal nya akidah dan akhlak. Lalu setelah Islam datang, ia lah yang menggariskan manhaj pertengahan (wasathiyyah) dalam semua urusan hidup manusia”.
Al Azhar, sebagai kiblat para pelajar di seluruh dunia dalam mendalami Islam pun selalu mengedepankan manhaj wasathiyyah, manhaj pertengahan, manhaj yang adil. Kalau kita telusuri lebih dalam, makna wasathiyyah, seperti yang di jabarkan DR. Mukhlis Hanafi MA., dalam bukunya Moderasi Islam, wasath maknanya adil, baik, tengah dan seimbang. Bagian tengah dari kedua ujung dalam bahasa Arab disebut wasath. Seperti dalam ungkapan sebaik-baik urusan adalah awsathuha (yang pertengahan). Atau kita sering mendengar istilah ‘penengah’ dua orang yang sedang bertengkar. Pertengahan adalah posisi aman untuk tidak terlalu condong pada sisi ekstrem (baca:radikalisme), dan sisi longgar (baca:liberalisme). Al Qur’an pun menyebut kata wasath pada surat Al Baqoroh ayat 143:
وَكَذَا لِكَ جَعَلنَاكُم أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدآءَ عَلَى النّاَسِ
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia…”
Umat petengahan, telah dijelaskan dalam Al Qur’an agar kita menjadi umatan wasathan, ‘petengahan’, ‘moderat’, ‘adil’, ‘terbaik’.
Almamater kita, Universitas Al Azhar, selalu memberi teladan akan hal ini. Contoh real nya, khusus perkuliahan jurusan Syari’ah Islamiyyah, mahasiswa bebas memilih mazhab mana yang akan diambil dalam mata kuliah fiqih. Syafi’i kah, Hambali kah, Maliki kah, atau Hanafi. Bebas memilih tanpa ada paksaan dan perselisihan. Kelas berjalan sesuai mazhab nya, dan tidak ada mazhab yang diangggap paling benar atau dianggap paling banyak pengikutnya. Karena sudah mafhum, bahwa perbedaan adalah rahmat. Tak luput para Masyayikh Azhar pun mengedepankan nilai wasathiyyah dalam fatwa-fatwa nya. Tidak mudah mengkafirkan suatu golongan dan tidak mudah mengatakan halal haram dalam masalah fiqh.
Fenomena takfir bukan hal baru dalam masyarakat Islam, bahkan telah terjadi pada masa awal Islam, tepatnya setelah perang shiffin (37 H/658 M). Saat itu muncul kelompok khawarij yang dapat di anggap gerakan takfir pertama dalam sejarah Islam. Mereka menganggap kafir atau syirik seorang Muslim yang melakukan dosa besar, bahkan mereka berani mengkafirkan Imam Ali yang enggan bertaubat karena telah melakukan tahkim (perundingan) dengan lawan politiknya, Muawiyah, yang mereka anggap sebagai dosa besar. Setelah khawarij, muncul derivatnya yang gemar mengkafirkan sesuatu tanpa dasar yang jelas. Maka manhaj wasathiyyah lah solusi agar umat Islam tidak menjadi seperti apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh, “Al Islaamu mahjuubun bil Muslimiin”, Keagungan Islam telah terhijab oleh kekerdilan pemeluknya.
Berbicara tentang kondisi masyarakat Muslim nusantara kini, manhaj wasathiyyah pun perlahan sudah mulai merambah ke dalam pemikiran masayarakat nusantara. Kita mengenal istilah ‘Islam Berkemajuan’, yang di populerkan Muhammadiyah dalam muktamarnya yang ke-47 di Makasar pada 3-8 Agustus 2015. Seperti yang ditulis oleh Akhmad Sahal dalam prolog buku Islam Nusantara, istilah yang ditawarkan Muhammadiyah menggemakan kembali diktum yang pernah dinyatakan Bung Karno bahwa “Islam is progress: Islam itu kemajuan”. Atau istilah ‘Islam Nusantara’ yang dipopulerkan oleh Pimpinan Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang diangkat menjadi tema Muktamar ke-33 di Jombang Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Islam Nusantara ditafsirkan sebagai Islam yang toleran, damai, dan tidak meninggalkan budaya nusantara dalam praktiknya. KH. Afifuddin Muhajir dalam tulisannya menegaskan bahwa manhaj Islam Nusantara (baca:wasathiyyah) yang dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlussunnah di negara ini adalah “paham dan praktik keislaman di bumi nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realistis dan budaya setempat”. Islam Nusantara ini bukan hal baru. Hanya konten lama dengan bahasa berbeda. Sebelumnya pada dekade 80-an Abdurrahman Wahid tampil dengan idenya ‘Pribumisasi Islam’. Disini Gusdur dengan tegas menyatakan bahwa pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam”.
Abdul Moqsith Ghazali misalnya, menyatakan, gagasan Islam Nusantara tidak bergerak dalam penciptaan hukum, melainkan dalam penerapannya, (tathbiq wa tanzil al hukm). Dan Ijtihad dalam penerapan sebuah hukum dalam pandangan Moqsith, ditakar dari seberapa jauh hukum tersebut menciptakan maslahat dan menghindari mafsadat dalam masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa lima prinsip pokok agama, atau Imam Saythibi menyebutnya sebagai “Ittifaq al Milal”, yaitu (1). Hifdz al-Din(perlindungan terhadap agama), (2). Hifdz al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup), (3). Hifdz al-‘Aql (perlindungan terhadap hak berfikir), (4). Hifdz al-Nasl(perlindungan terhadap hak-hak reproduksi), (5). Hifdz al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik). Kelima hal tersebut merupakan manifestasi dari konsensus agama-agama tidak hanya Islam. Karena itu, lima prinsip tersebut bersifat universal.
Islam Nusantara juga hadir agar penerapan hukum Islam dipertimbangkan sesuai ‘urf, tradisi dan budaya setempat. Dalam kaidah fiqih, “taghayyur al-fatwa wa ikhtilafuha bi hasbi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyah wa al-‘awa’id” (perubahan fatwa dan perbedaanya mengikuti perubahan situasi, niat dan tradisi).
Dasar dari Islam Nusantara ini seperti yang di tulis Akhmad Sahal dalam prolog buku Islam Nusantara adalah kesepakatan para ulama Ushul Fiqh bahwa Islam diturunkan oleh Allah semata-mata bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan meninggalkan kemudharatan bagi hamba Nya, juga berdiri teguh di atas sebuah postulat yang di rumuskan oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah:
إن الشريعة مبناها و أساسها على الحكم و مصالح العباد فى المعاش و المعاد, و هي عدل كلها و حكمة كلها و مصلحة كلها. فكل مسألة خرجت عن العدل إلى الجور, و عن الرحمة إلى ضدها, و عن المصلحة إلى المفسدة, و عن الحكمة إلى العبث, فليست من الشريعة و إن أدخلت فيها بالتأويل
“Sesungguhnya syariah itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahat para hamba-Nya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan/meninggalkan keadilan demi tirani, rahmat kasih sayang demi kebalikannya, kemaslahatan demi kemafsadatan, kebijaksanaan demi kebodohan, maka itu semua bukan lah syariah, meski semua itu dimasukkan kedalamnya melalui suatu interpretasi”.
Landasan berikutnya yang mendasari konsepsi Islam Nusantara adalah fakta bahwa wilayah garapan Islam Nusantara sejatinya termasuk dalam domain al-mutaghayyarat (hal-hal yang bisa berubah dalam ajaran Islam). Ini untuk membedakan dengan al- tsawabit (hal-hal yang tetap, tidak berubah-ubah dalam ajaran Islam). Seperti dipaparkan oleh KH. Husen Muhammad, ada hal-hal dari ajaran Islam yang berlaku baku (tetap, tidak berubah-ubah) dan ada hal yang bisa berubah-ubah. Yang masuk dalam kategori pertama adalah wilayah akidah dan ubudiyah (ritual). Prinsip tauhid, iman kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan percaya pada hari pembalasan merupakan hal-hal baku yang tidak berubah sepanjang masa. Juga rukun Islam seperti solat, puasa, zakat dan haji. Ketentuan ini tsabit dimanapun dan kapan pun.
Sementara hukum-hukum yang bisa berubah (al-Mutaghayyirat ) terletak dalam wilayah relasi manusia dengan manusia, yang lazim disebut muamalat. Bidang ini meliputi aturna-aturan mengenai hubungan manusia salam keluarga, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dari prespktif ushul fiqh, kedua jargon ini (baca: Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan), merupkan dua sisi dari satu mata uang yang sama, yakni kontekstualisme Islam. Baik Islam Nusantara maupun Islam Berkemajuan sama-sama mempertimbangkan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, dengan menjadikan kemaslahatan sebagai tolak ukurnya. Yang pertama menekankan pembaruan pemahaman Islam karena perubahan konteks geografis (dari Arab ke Nusantara), sedangkan yang kedua menyerukan pembaruan Islam karena perubahan zaman menuntut pembaruan/tajdid. Titik temu konstektualisasi Islam versi Muahmmadiyah dan NU setidaknya tercermin dalam pemikiran Prof. Amin Abdullah (baca:Muhammadiyah) dan KH. Sahal Mahfudz (baca: NU) tentang hukum Islam. Bagi Amin Abdullah, transformasi besar-besaran dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan yang secara dramatis mencerminkan perubahan radikal dari zaman klasik ke era modern menuntut digalakkannya ijtihad kontemporer, bahkan ijtihad yang segar. Dalam pandangan Amin, Fikih Sosial dan Kalam Sosial perlu berintegrasi dan berinterkoneksi dengan sains dan harus memiliki world view yang terbuka. Jika tidak ingin kembali ke era pertengahan, maka hasil ijtihad harus selalu terbuka untuk menerima ha-hal baru yang lebih baik dalam kehidupan manusia di dunia ini. Inilah yang disebut Amin Abdullah sebagai Fikih Sosial dan Kalam Sosial di alam postmodern.
Konsepsi Amin Abdullah tentang Fikih Sosial dan Kalam Sosial menunjukan adanya kemiripan ide “fikih sosial” KH. Sahal Mahfudz. Bagi Kiai Sahal, asumsi dasarnya, syariat mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman”. Fikih harus mampu menampilkan dinamisme dan fleksibilitasnya berhadapan dengan perubahan sosial yang melaju kencang. Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak relevan lagi di era lain atau tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh (fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar).
Dewasa ini, penerapan manhaj wasathiyyah di nusantara sudah mulai terbentuk meski belum bisa dibilang menyeluruh. Contoh real nya tentang paham kebangsaan. Misalnya, NU menerima sistem demokrasi. Karena menurut Kiai Sahal, muara fikih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Dasarnya diantaranya adalah penyataan Ali bin Abi Thalib: “Kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri (di tangan orang kafir) dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin (di tangan orang Muslim)” dan Ibnu Taimiyah, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir, dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) muslim.” Dalam Konteks modern, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara fikih politik untuk zaman ini.
Sisi lain, penerimaan Muhammadiyah terhadap Negara Pancasila juga merefleksikan suatu bentuk penerapan syariat yang lentur. Setidaknya ini ditunjukan oleh Din Syamsuddin yang melihat Negara Pancasila sebagai Negara Perjanjian (Dar al-‘Ahdi) dan juga Negara Kesaksian/Pembuktian (Dar al-Syahadah). Dalam pandangan Ketua Umum Muhammdiyah ini, Negara Pancasila ditegakkan dan dibangun atas dasar perjanjian atau kesepakatan di antara segenap rakyat warga negara yang mengikat segenap warga negara, termasuk kalangan muslim, dari generasi ke generasi dalam gerak melintasi zaman. Sementara itu, gologan Ikhwani pun menerima sitem demokrasi sebagai sitem yang sah. Terbukti dengan berevolusinya golongan Ikhwani menjadi partai, dengan menggaungkan prinsip ‘dakwah akan lebih efektif ketika berada ditampuk kekuasaan’.
Dalam kasus lain misalnya, pembagian warisan. Seperti yang dipaparkan KH. Abdurrahman Wahid, dalam Ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Di Indonesia telah lama terjadi bahwa pembagian waris antara suami istri mendapatkan masukan berupa dua model yang berasal sari adat, yaitu adat perpantangan di Banjarmasin, dan gono gini di Yogya-Solo yang pada perkembangannya juga menyebar di Jawa Timur. Keduanya adalah respon masyarakat adat yang berada di luar lingkup pengaruh kiai terhadap ketentuan nas dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para kiai itu. Harta rumah tangga dianggap sebagai perolehan suami istri secara bersam-sama, yang karenanya mesti dipisahkan dulu sebelum diwariskan, ketika salah satu suami/istri meninggal. Separuh dari harta itulah yang dibagikan kepada ahli waris. Separuh dari harta itulah yang di bagi keapda para ahli warismenurut hukum waris Islam, sedangkan separuh lainnya adalah milik suami/istri yang masih hidup. Teknik demikian adalah perubahan mendasar terhadap hukum waris. Dan bentuk seperti ini direstui oleh para ukama walaupun (seraya) tidak menganggapnya sebagai pemecahan utama. Sebab pemecahan utama justru adalah yang seperti ditentukan oleh syara’ secara apa adanya. Letak kemajuannya dalah bahwa penyesuaian-penyesuaian seperti ini bukan hanya tidak diharamkan tetapi bahkan dianggap sebagai adnal qoulaini (pendapat dengan mutu nomor dua) dan tidak di persoalkan sebagai sesuatu yang mengganggu prinsip.
Contoh lain dalam permasalahan KB, lanjut Gus Dur. Pertanyaan mendasar pun muncul tentang pemilik hak menciptakan anak, Tuhan kah atau manusia. Jawaban yang diberikan adalah bahwa hak menciptakan anak dan meniupkan roh dalam rahim adalah milik Tuhan. Karena itu, bentuk intervensi terhadap hak ini, yaitu dalam bentuk menghilangkan kemampuan ibu untuk melahirkan, berarti melanggar wewenang. Dengan demikian, mafhum mukholafahnya (implikasi kebalikannya) adalah diperbolehkannya pembatasan kelahiran dengan cara sterilisasi yang tidak permanen. Dengan demikian pula, melaksanakan vasektomi yang oleh dokter dijamin akan bisa dipulihkan kembali, hukumnya diperbolehkan. Misalnya dengan pemakaian Cincin Jung yang bisa di lepas kembali, atau meminum pil KB.
Kita tahu bersama tentang sebuah hadits nabi yang memerintahkan ummat nya untuk memperbanyak keturunan, karena di hari kiamat beliau akan membanggakan mereka di hadapan nabi-nabi yang lain. Pada mulanya kata ‘banyak’ dipahami sebagai jumlah, lanjut Gus Dur, karena itu memang zaman penuh kesulitan dalam memelihara anak. Dengan tingginya angka kematian anak, maka ada kekhawatiran bahwa jumlah umat Islam akan dikalahkan yang lain. Tetapi pada saat ini, alasan demikian tidak bisa di pertahankan lagi, ketika penonjolan kuantitas sudah tidak dibutuhkam. Jumlah anak yang terlalu banyak justru akan menimbulkan bahaya, ketika kemampuan masyarakat untuk menampung mereka ternyata tidak memadai. Maka terjadilah peruabhan, ukuran itu diberatkan pada kualitas.
Konsekuensi lebih jauh mengenai perubahan pemahaman ini dapat menyangkut soal usia perkawianan. Ketika zaman Rasululloh SAW dahulu, anak perempuan berumur sembilan tahun dinikahkan, sedangkan anak laki-laki dinikahkan ketika usia balig. Kini, hal itu tidak bisa lagi diterapkan di Indonesia. Pemerintah membatasi standar usia untuk menikah, bagi lelaki minimal usia 18 tahun, dan perempuan minimal di usia 16 tahun. Tentu perubahan ini didasari dengan kondisi masa kini, dimana hidup semakin kompleks. Pekerjaan tidak lagi sekedar menjadi petani di sawah atau nelayan di laut. Wanita pun tak sekedar di dapur, kasur dan sumur. Karena semakin kompleks nya zaman ini, maka diperlukan intelektualitas yang tinggi dari seorang pemuda. Maka dari itu usia perkawinan di batasi agar para pemuda bisa lebih matang dan siap menghadapi lika-liku rumah tangga.
Itulah sekilas pemaparan contoh-contoh penerapan manhaj wasathiyyah di nusantara. Meski demikian, gagasan Islam Nusantara ini tentu menuai pro dan kontra. Ada yang kontra berpendapat bahwa ini nama lain dari Jaringan Islam Liberal, atau dari zionis israel, karena dari beberapa aksi nya yang boming di media sosial akhir-akhir ini: mengaji dengan langgam jawa dan lain-lain. Namun tidak sedikit juga yang pro dan menyambut dengan positif gagasan ini. Bagi saya, segala sesuatu pasti memiliki sisi positif dan negatif. Yang mencetuskan ide Islam Nusantara ini pun toh bukan orang yang tidak berilmu, melainkan para alim ulama kita. Yang baik kita ambil dan yang buruk kita tinggalkan. Karena menurut saya, zaman dahulu pun Islam bisa menyebar di Indonesia melalui ajaran ‘Islam’ yang di ‘nusantara’ kan oleh para Wali Songo. Seperti metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha merupakan wujud kompromi yang di lakukan Sunan Kudus. Atau sunan lain yang menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah, mengganti puji-pujian kepada dewa dengan berzikir yang kini berbuah tahlilan dan lain sebagainya.
Sekali lagi, Islam Nusantara, menurut saya hanya sebuah istilah yang intinya tidak lain adalah manhaj wasathiyyah. Manhaj pertengahan, manhaj adil dan damai. Terlepas dari sisi negatif pendapat orang tentang Islam Nusantara, bagi saya, Islam Nusantara adalah metode yang cocok untuk di jalankan di Indonesia. Asalkan tetap mengedepankan Qur’an dan Sunnah, tidak ghuluw dalam menfatwakan hukum syariah, bersifat toleransi dan mengedepankan persatuan dan kesatuan ummat. Wallahu a’lam.
Daftar Referensi:
Kumpulan penulis. 2015.Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaaan.Bandung: Penerbit Mizan
Hanafi, Muchlis. 2013. Moderasi Islam. Tanggerang. Penerbit: Pusat Studi Al Qur’an (PSQ)
A.Fillah, Salim. 2011. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta. Penerbit: Pro-U Media